Anakku Nazhifa Syifa

Jumat, 27 Agustus 2010

GHAIB

Surat Al Baqarah diawali dengan kalimat mutasyabihat “alim lam miim”, kemudian menjelaskan bahwa Al Qur’an adalah kitab penuh kebenaran dan tidak ada keraguan didalamnya bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan yang gaib, sebagaimana firman Allah:

Alif lam miim. Kitab (Al qur’an) tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang GAIB, melaksanakan SHALAT, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada (Al qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum engkau,dan mereka yakin akan adanya akhirat. (QS, Al Baqarah [2]:1-4)

Istilah “GAIB”, oleh masyarakat sering dikaitkan dengan makhluk gaib atau ilmu gaib (mistik) dunia lain yang menyeramkan. Karena memang kata gaib mempunyai arti tidak kasat mata, maya, tidak terlihat, seperti jin, malaikat, syurga, neraka, dan hari kiamat. Sebagian masyarakat ada yang menolak ketika membicarakan persolan gaib karena alasan tidak masuk akal. Hal ini berawal para ahli ilmu modern, mendasari setiap peneliatian harus bersifat empiris. Sehingga sesuatu yang tidak bisa difahami oleh indrianya akan ditolak dan dikatakan tidak termasuk kajian ilmiah. Dasar ilmu empirisme ini berakibat kepada masyatakat modern menjadi alergi terhadap dunia gaib, dalam hal ini berujung ketidakpercayaan terhadap adanya Allah, syurga, neraka yang bersifat gaib. Karena dianggap keberadaan Allah dan seluruh ciptaan Allah yang gaib dianggap tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Itu sebabnya mengapa akhirnya banyak orang meninggalkan agama, dan bahkan menetapkan diri sebagai golongan atheis (tidak percaya adanya Tuhan). Padahal agama banyak menceritakan persoalan yang tidak kasat mata (gaib), baik yang bersifat materi maupun immateri seperti perasaan dan cinta.

Kepercayaan kepada yang gaib justru dalam Islam sangat ditekankan, karena membicarakan kesadaran tentang asal usul kejadian manusia maupun alam semesta. Disamping itu, memberikan kesadaran akan tujuan hidup manusia didunia maupun diakhirat kelak. Kesadaran ini tidak mungkin bisa difahami, apabila hanya mendasari pengetahuannya dengan mazhab empirisme yang serba materi. Mengapa konsep keimanan sangat penting untuk memulai kesadaran berketuhanan. Sehingga Islam menempatkan Iman sebagai landasan kepercayan atau kesadaran awal dari kehidupan beragama. Maka dari itu pembahasan masalah ketuhanan tidak terlepas dari iman kepada yang gaib, seperti iman kepada Allah (Yang Maha gaib), iman kepada Malaikat, iman kepada kitab-kitab suci, iman kepada hari akhir, iman kepada para nabi, iman kepada ketetapan baik dan buruk dari Allah swt.

Keimanan ini termasuk sebuah kesadaran yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang hidup. Karena kesadaran merupakan sebuah ruangan tersendiri dari aspek kejiwaan manusia. Karena dengan kesadaran, manusia akan mengerti akan diri yang sejati atas keberadaannya.

Kesadaran bagi orang-orang materialisme, merupakan bentuk kesadaran pada taraf kesadaran seperti orang bangun tidur atau dari pingsan. Akan tetapi ada tingkat kesadaran pada tatanan mental, yaitu kesadaran yang berkaitan dengan tingkat intelektualitas dan kualitas kesadaran. Ada perbedaan yang sangat tajam antara kedua tingkat kesadaran tersebut. Kesadaran bagi yang sudah sadar dari tidur dan tidak pingsan belum tentu memiliki kualitas kesadaran. Orang gila misalnya, ia memiliki tingkat kesadaran pertama. Akan tetapi ia tidak menyadari akan dirinya, terkadang ia mengaku raja Jawa dan berperilaku layaknya seorang raja, padahal dia hanyalah seorang tukang batu. Mungkin sebagian manusia berada pada tingkat kesadaran primitip, tidak menyadari bahwa bumi yang ditempati sedang berputar dengan kecepatan tinggi, bahkan melebihi kecepatan peluru yang ditembakkan. Kesadaran yang dirasakan tidaklah demikian. Seolah bumi hanya diam dan mataharilah yang bergerak dari arah timur ke barat.

Seandainya ilmu pengetahuan tidak pernah kita dapatkan masalah asal usul kejadian manusia. Mungkinkan kita percaya, bahwa kita pernah hidup didalam perut seorang ibu?. Disana kita makan tanpa menggunakan mulut dan tidak perlu bekerja untuk mencarinya. Sebelumnya kita berasal dari sel seperma yang sangat kecil bentuknya. Dan mungkin kita tidak akan percaya bahwa bahan untuk menciptakan manusia adalah berasal dari sari pati tanah. Padahal kita hidup, sadar dan tidak pingsan. Apakah untuk menyadari sesuatu harus dengan penglihatan mata dan pendengaran telinga? Perlukan kita menyadari dengan melihat dan merasakan bumi sedang berputar cepat. Tentu tidak. Kita hanya memerlukan kesadaran intelektual untuk membangun kesadaran ini.

Demikian pula kesadaran tentang “Tuhan”, kita tidak harus melihat secara langsung akan keberadaan Sang Pencipta untuk menyadari dan mengimani-Nya. Cukup memahami bahwa seluruh benda yang tergelar pastilah ada yang merancang. Justru bagi yang tidak percaya adanya yang merencanakan alam semesta, Al qur’an menyebutnya sebagai orang sangat primitip dan rendah ilmu pegetahuannya. Oleh sebab itu, bagi orang-orang percaya dan sadar atas keberadaan dan kebenaran adanya Allah disebut ulul albab, yaitu orang yang memiliki kesadaran tinggi. Sebagaimana Firman Allah:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dasn siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang menginat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka meikirkan tentang penciptaan langit dan bumi(seraya berkata): Ya Tuhan kami,tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau,maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran [3]:190-191)

Dasar inilah yang dikatakan kesadaran keimanan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Menciptakan. Setelah memahami kesadaran ini, maka wajiblah kita mengakui dan menyerahkan diri dan jiwa kita untuk berbakti kepada-Nya.

Iman bukanlah semata-mata percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika persoalannya Tuhan itu ada, maka iblis adalah makhluk yang tidak saja percaya bahwa Tuhan itu ada, dia bahkan berhadapan langsung dengan Tuhan dalam suatu dialog yang sengit dalam drama kosmis sekitar pengangkatan Adam sebagai khalifah. Tetapi, iblis yang demikian itupun dikutuk sebagai kafir.

“Ia menolak dan menyombongkan diri,dan ia termasuk diantara mereka yang tidak beriman (QS. Al Baqarah [2]:34).

Kalau iblis dijadikan contoh, maka beriman itu tidak cukup hanya dengan penegasan diri bahwa Tuhan itu ada. Beriman ialah mempercayai Tuhan dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Apapun yang dianugerahkan Allah kepada kita, itu harus diterima dengan ridha.itulah yang disebut radhiyatan mardhiyah. Dengan demikian,Allah akan mengatakan :

Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku! Masuklah engkau ke dalam syurga-Ku (QS,Al Fajr,89:29-30).

Shalat merupakan jalan meletakkan kepercayaan kepada Allah, sehingga dibuka dalam doa iftitah:

inna shalati wa nusuki,wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin.

Sesungguhnya shalatku, pengabdianku, hidup dan matiku hanya mengikuti keputusan Allah Tuhan Penguasa Alam.



Namun jika didalam kesadarannya kita tidak memiliki keimanan, maka shalat yang demikian tidak memberikan dampak apa-apa terhadap jiwa pelakukanya.

Iman kepada Yang Gaib, bukan berarti mempercayai sesuatu yang tidak ada. Sesungguhnya yang gaib itu adalah nyata adanya. Sebagaimana ruh yang dikandung dalam badan kita. Secara kasat mata ruh tidak kelihatan oleh mata, akan tetapi “NYATA” adanya. Kenyataan ini yang tidak bisa diukur dengan konsep emperis materialisme. Karena yang bukan materi juga sebenarnya “empiris”. Mengapa kita mengingkari adanya perasaan “cinta” dalam dada. Padahal perasaan itu bukanlah berada dalam lempengan hati berupa daging. Ia ada pada dimensi ruhani yang juga bersifat gaib. Sama halnya dengan adanya Allah, secara fisik tidak ada alat ukur untuk menangkap keberadaan Allah maupun fiman Allah, karena alat ukur seperti indria hanyalah menangkap sesuatu yang bersifat terbatas. Telinga tidak mampu menangkap suara gerakan kuman atau semut yang sedang berjalan, mata telanjang tidak mampu melihat ruang angkasa yang sangat luas. Akan tetapi keberadaan Allah hanya bisa dirasakan oleh hati orang yang beriman. Sehingga respons-Nya menggetarkan hati yang menyebut Nama Allah (dzikrullah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar